KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

Pendampingan Terpadu di Kalimantan Barat, Setwapres: Wujud Komitmen K/L untuk Turunkan Stunting Hingga 14 Persen pada 2024

28 Oktober 2022 | Berita, Media

PONTIANAK (https://stunting.go.id)—Sekretariat Wakil Presiden RI melakukan kegiatan pendampingan terpadu yang kedua kalinya. Pendampingan pertama dilakukan untuk Provinsi Sumatera Utara, kali ini pendampingan ditujukan untuk enam kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Diketahui, menurut data SSGI tahun 2021, keenam lokasi tersebut tercatat memiliki prevalensi stunting tinggi di Provinsi Kalbar, yakni Kabupaten Kubu Raya 40,3%, Kabupaten Sambas 32,6%, Kabupaten Landak 27,8%, Kabupaten Bengkayang 28,6%, Kota Pontianak 24,4%, dan Kota Singkawang 22,3%.

Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan Setwapres, Abdul Mu’is, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan lanjutan dari koordinasi pra-pendampingan yang dilakukan sebelumnya. Sehingga, dalam kegiatan ini diharapkan akan menemukan lebih jelas permasalahan dan analisis atas persoalan di lapangan.

“Kita sudah meminta perwakilan dari 6 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat untuk menyiapkan data-data dengan lengkap. Alhamdulillah, perwakilan dari 6 kabupaten/kota sudah hadir di sini. Nanti kita akan berdiskusi bersama. Di sini juga hadir teman-teman dari K/L yang siap untuk mendampingi,” kata Abdul Mu’is di Hotel Mercure Pontianak pada Rabu (19/10/2022).

Identifikasi permasalahan ini akan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni tata kelola, intervensi spesifik dan intervensi sensitif. “Identifikasi akan menggunakan data dasar atas cakupan dari tiga aspek tersebut sebagai dasar dalam pendalaman permasalahan,” ujarnya.

Ia juga menyatakan bahwa pendampingan ini merupakan implementasi dari arahan Presiden agar kementerian/lembaga lebih fokus pada 12 provinsi prioritas. Arahan pokok Presiden RI dalam Rapat Terbatas tentang percepatan penurunan stunting pada 11 Januari 2022 bahwa penanganan stunting agar difokuskan pada 7 provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi dan 5 provinsi dengan jumlah kasus stunting terbesar.

Berdasarkan data SSGI tahun 2021, tujuh provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah NTT (37,8%), Sulawesi Barat (33,8%), Aceh (33,2%), NTB (31,4%), Sulawesi Tenggara (30,2%), Kalimantan Selatan (30%), dan Kalimantan Barat (29,8%). Sedangkan lima provinsi dengan jumlah Balita stunting terbanyak adalah Jawa Barat (968.148 Balita), Jawa Timur (656.449 Balita), Jawa Tengah (510.646 Balita), Sumatera Utara (348.889 Balita), dan Banten (268.226 Balita).

“Penanganan di 12 provinsi ini, jika berhasil, sudah mencakup lebih dari 69 persen Balita stunting. Pendampingan ini diharapkan mempunyai daya ungkit dalam upaya percepatan penurunan stunting tanpa mengesampingkan provinsi lainnya”, ujar Abdul Mu’is.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah pusat telah menyepakati untuk melakukan pendampingan khusus kepada 12 provinsi prioritas tersebut. Setwapres mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pendampingan terpadu kepada Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kalimantan Barat.

Sementara itu, Wakil Gubernur Kalimantan Barat H. Rian Noorsa mengatakan angka stunting tertinggi ada di Kabupaten Kubu Raya, sedangkan yang terendah di Kota Singkawang. Ia juga menyampaikan komitmennya dengan membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) hingga ke tingkat desa.

Namun ia menyadari bahwa penurunan stunting adalah pekerjaan besar dan tidak dapat dilakukan sendirian. “Kita tidak bisa kerja sendiri, kita melibatkan TNI dan Polri, Babinsa dan Babinkamtibmas. Kita keroyokan bersama-sama untuk menurunkan stunting. Bersama BKKBN, provinsi kita sering turun ke lapangan. Jadwal hari ini ke Kabupaten Bengkayang. Kemarin di Kabupaten Landak, besok ke Kabupaten Mempawah,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang ada di wilayahnya adalah pola hidup tidak sehat. “Di Kalbar, pola hidup masyarakat masih menggunakan sungai, sehingga masyarakat masih menggunakan sungai untuk membuang hajat (BABS). Daerah perhuluan banyak tambang yang berada dalam sungai. Di mana ada zat berbahaya, sehingga di sini ada stunting. Kalau kita tahu masalahnya, maka kita dapat menangani stunting dengan tepat,” jelasnya. Selanjutnya, kata dia, anak yang stunting akan lemah secara fisik dan lemah pikiran.

Direktur Gizi dan Ketahanan Pangan Kemenko PMK, Jelsy Marampa, dalam kesempatan tersebut menilai adanya kendala tata kelola, intervensi spesifik, dan intervensi sensitif di Kalimantan Barat.

Ia menyebut sejumlah tantangan yang dihadapi. Antara lain, TP2S tingkat desa dan kecamatan belum berjalan dengan baik; masih terdapat kendala anggaran; perencanaan program belum terintegrasi dan belum sesuai lokus stunting; belum sinkron waktu dan data perencanaan. Selain itu, ia juga menyebut masih rendahnya konsumsi tablet tambah darah (TTD); hingga kurangnya koordinasi dan budaya untuk meningkatkan cakupan intervensi.

“Kendala lainnya adalah entry data ePPGBM dan kegiatan Posyandu yang monoton, makanya perlu inovasi. Karena, hampir di 9 provinsi mengatakan salah satu masalahnya adalah kurangnya pelayanan Posyandu dan monoton, pelatihan antropometri dan Hb meter. OPD berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya.

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Setwapres, Suprayoga Hadi, menyatakan terdapat tiga aspek yang menjadi fokus kegiatan pendampingan terpadu. Pertama, tata kelola. Kedua, intervensi spesifik. Ketiga, intervensi sensitif.

Ia menjelaskan, masalah tata kelola mencakup data SSGI dan e-PPGBM; perencanaan dan penganggaran; kelembagaan dan regulasi, SDM; monitoring dan evaluasi. Masalah intervensi spesifik mencakup TTD remaja putri, TTD ibu hamil, pemberian ASI eksklusif 6 bulan, tata laksana gizi buruk, imunisasi, serta pengadaan alat antropometri yang terstandarisasi. Selain itu, masalah intervensi sensitif yang dimaksud mencakup pelayanan KB pasca persalinan, BABS, JKN, PAUD, KTD, bimbingan perkawinan, dan Elsimil.

“Nanti, akan ada monitoring secara berkala untuk menurunkan percepatan stunting di provinsi yang menjadi prioritas,” katanya.

Dalam acara ini disepakati, proses pendampingan terpadu ini tidak hanya berhenti pada membangun komitmen dan kesepakatan atas rencana kerja yang akan dijalankan oleh masing-masing kabupaten/kota. Namun, yang lebih penting adalah kegiatan pasca pendampingan terpadu ini. Oleh karena itu, kantor Setwapres dalam hal ini melalui TP2S-Setwapres akan melakukan kegiatan pasca pendampingan ini dengan melakukan monitoring dan evaluasi secara langsung atas kesepakatan dan komitmen yang telah disampaikan oleh masing-masing kabupaten/kota.

Kegiatan ini diharapkan tidak hanya berhenti kepada enam kabupaten/kota yang diundang. Diharapkan, proses ini juga dapat dicontoh oleh semua daerah kabupaten/kota di Kalimantan Barat khususnya dan seluruh kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas.

Oleh karena itu, pada bulan November sampai dengan pertengahan Desember akan dilakukan monitoring dan evaluasi pada 12 provinsi prioritas yang tujuan utamanya adalah melihat gambaran secara menyeluruh apakah amanah Perpres Nomor 72 Tahun 2021 telah dijalankan secara seksama dan menyeluruh. Lalu, hasil dari kegiatan ini akan digunakan untuk masukan kepada Ketua Tim Pengarah, yakni Wakil Presiden, dalam mengambil arah dan kebijakan terhadap 12 provinsi prioritas tersebut. (aro/mw)

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait