KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

DAYAGUNAKAN SUMBER DAYA LOKAL UNTUK TURUNKAN STUNTING, AKADEMISI HARUS AMBIL PERAN

8 November 2022 | Berita, Media

Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mendampingi Presiden Joko Widodo di lahan pertanian sorgum di Desa Laipori, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/6/2022). Foto: HO-KSP

JAKARTA (https://stunting.go.id)- Persoalan stunting di daerah-daerah kering sebenarnya dapat dipecahkan dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di tempat itu. Meskipun intervensi tetap harus dilakukan, akan tetapi bahan-bahan makanan lokal perlu dioptimalkan perannya dalam menyumbang gizi bagi balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn.) Moeldoko menyebut, tanaman sorgum dapat dikembangkan sebagai salah satu solusi pengentasan kemiskinan ekstrem dan pengurangan prevalensi stunting.

“Yang bisa menggerakkan kemiskinan ekstrem dan stunting adalah sorgum. Tapi kita masih perlu meyakinkan publik bahwa sorgum ini bisa dikembangkan untuk industri makanan dan banyak industri lainnya,” sebutnya di Jakarta, Selasa (8/11/2022).

Ketika menerima audiensi dari Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana dan Universitas Kristen Wira Wacana Sumba di Gedung Bina Graha Jakarta, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Moeldoko menegaskan, budi daya sorgum perlu digencarkan agar dapat membantu kecukupan gizi bagi masyarakat.

Bagaimana cara membudidayakan dan mengolahnya, itu domain para akademisi dan peneliti untuk melakukannya. “Kantor Staf Kepresidenan terus aktif mendorong program pengembangan riset dan studi sorgum bersama para akademisi,” katanya di depan para tamu yang merupakan kalangan akademisi.

Universitas Kristen Wira Wacana Sumba berbasis di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur telah berencana mengembangkan program riset dan pengembangan sorgum. Program ini didasarkan pada fakta bahwa tingkat kemiskinan ekstrem dan prevalensi stunting pada anak cukup tinggi di NTT.

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis pada 1000 hari pertama kehidupan sehingga tinggi badan seorang anak terlalu pendek untuk usianya.

Kebanyakan daerah NTT adalah sabana dengan kondisi tanah kering dengan wilayah yang sedikit mengalami curah hujan. Di tempat seperti inilah justru sorgum dapat tumbuh dengan baik.

Menurut Moeldoko, salah satu penyebab kemiskinan ekstrem di NTT karena pengelolaan sumber daya alam yang belum optimal. Untuk optimalisasi sumber daya lokal ini kontribusi para akademisi diperlukan.

Moeldoko optimis, dengan teknik yang baik bahan pangan lokal dapat berperan dalam menurunkan angka stunting. “Dari satu hektare lahan bisa menghasilkan 3-5 ton sorgum. Satu hektar lahan sorgum ini diproyeksikan menghasilkan Rp12 juta. Budi daya sorgum ini mudah karena pupuknya juga tidak seberapa. Ini bisa mengangkat ekonomi lokal dengan dahsyat,” kata dia.

Rektor Universitas Kristen Wira Wacana Sumba, Maklon Felipus Killa, berharap terjalin kemitraan dengan badan usaha di bidang sorgum.

Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, angka prevalensi stunting di NTT mencapai 37,8 persen atau yang tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia. Angka itu masih jauh di atas angka stunting rerata nasional, yaitu 24,4 persen. Di Provinsi NTT terdapat 15 kabupaten yang masuk kategori merah dalam prevalensi stunting, atau prevalensinya di atas 30 persen. (mjr/mw)

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait