KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

Pejuang Stunting di Pelosok Negeri

15 Agustus 2023 | Berita, Media

Fifi dan Faiza mengecek buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) saat mengunjungi salah satu rumah ibu hamil yang juga memiliki anak di bawah usia dua tahun (baduta). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari

KUPANG (stunting.go.id)– Selama lima tahun program penurunan stunting digencarkan pemerintah, angka prevalensinya terus menurun. Jika pada tahun 2018 prevalensi stunting masih di angka 29,9% (Riskesdas), maka pada akhir tahun 2022 sudah turun menjadi 21,6 persen menurut Survei Status Gizi Indonesia.

Di balik gencarnya program ini, muncul pahlawan-pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk membantu pemerintah mengejar target. Dahulu ada Ratna Megawangi, Selina Patta Sumbung, dan Diyah Puspitarini. Yang terbaru adalah Fifi Sumantri (31) dan Faiza (27 tahun). Keduanya asal Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Keduanya secara sukarela memberikan waktunya untuk memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat Pulau Komodo. Keduanya bersinergi berperang melawan kebodohan dan persepsi masyarakat yang salah mengenai pengasuhan bayi, dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah.

Mereka tak segan mengetuk pintu rumah warga yang memiliki anak di bawah usia dua tahun (baduta), untuk memberi penyuluhan, mengecek, dan mengukur anak-anak baduta yang mereka datangi, serta menawarkan pertolongan gratis apabila ada masalah. Meski bertugas sebagai bidan di Puskesmas, apa yang mereka lakukan itu bukan bagian dari tugasnya sebagai pegawai negeri. Fifi adalah Kepala Puskesmas Pembantu (Pustu) Komodo, sedangkan Faiza adalah salah satu tenaga medis di sana.

Setiap waktu Fifi dan Faiza selalu berduet mendatangi warga. Apabila tidak ada keluhan apapun dari pemilik rumah, setidaknya mereka melakukan pengukuran standar pada si anak.
Saking seringnya berkeliling, warga sudah akrab dengan kedua orang ini. Warga memanggil Fifi Sumantri dengan panggilan akrab “Mama Sami”, sedangkan Faiza yang lebih muda dipanggil dengan nama aslinya.

Menurut Fifi dan Faiza, ia melakukan hal itu karena rasa cinta dan peduli kepada masyarakat di mana ia dilahirkan, yaitu Pulau Komodo. Keduanya pernah belajar ke luar pulau kemudian kembali ke desa sebagai tenaga ahli yang membantu masyarakat. Fifi adalah tamatan Akademi Kebidanan Syekh Yusuf Gowa di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagai bidan, mereka merasa penghasilan yang selama ini didapatkan telah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka misi berikutnya adalah membantu masyarakat.

Fifi dan Faiza sehari-hari berpraktik di Puskesmas pembantu yang luasnya sekitar 200 meter persegi. Tangan mereka sudah sangat berpengalaman merawat ibu-ibu hamil dan bayi. Mereka disukai masyarakat karena keikhlasan dan ketulusannya mengabdi melebihi tugasnya. Sebagai pegawai pemerintah, mereka mendapatkan gaji yang bagus, namun sebagai relawan gajinya hanya Rp400 ribu per tahun.

Karena Pulau Komodo cukup terpencil, belanja obat dan bahan-bahan penting harus dilakukan ke Labuan Bajo. Setiap kali harus ke Labuan Bajo dengan naik perahu selama 4 jam sekali jalan, mereka mendapatkan uang transportasi sebesar Rp300 ribu. Padahal kapalnya tidak setiap hari ada, sehingga mereka harus menginap. Untuk transport, menginap, dan biaya makan, uang itu sangat pas-pasan, bahkan kadang kala nombok.

Fifi mengisahkan awal mula perjuangannya menolong warga yang mengalami masalah. Setelah lulus Akademi Kebidanan di Gowa, Sulsel, ia langsung pulang kampung. Tak disangka, ia langsung mendapatkan pasien pertamanya malam itu juga. Kasusnya cukup berat, yaitu seorang ibu hamil yang mengalami gejala eklampsia atau tekanan darah tinggi.

“Pasien mengeluh sakit kepala, bengkak di bagian kaki dan wajah. Saat itu belum ada bidan, hanya satu perawat laki-laki,” kenangnya. Maklum untuk persalinan biasanya warga menggunakan jasa dukun beranak. Tetapi untuk kasus luar biasa tentunya harus dengan pertolongan medis.

Melihat kondisi itu, Fifi memutuskan untuk merujuk ibu hamil tersebut ke Labuan Bajo, yang merupakan kota terbesar di Manggarai Barat. Meski demikian, aset Labuan Bajo saat itu hanya Puskesmas, karena RS Labuan Bajo baru dibangun pada tahun 2016 ini. Pertama-tama ia harus membujuk keluarga untuk mengizinkan dirujuk. “Masyarakat Komodo itu kalau disuruh merujuk ke Labuan Bajo paling susah,” katanya.

Alhasil, ia berhasil meyakinkan keluarga dan membawa sang ibu hamil ke Labuan Bajo. Pukul 23. 00 WIT, mereka naik perahu motor menyeberangi laut selama 4 jam. Di pertengahan jalan, ibu hamil tersebut tiba-tiba kejang-kejang. Fifi hanya bisa berdoa agar segera sampai.

Singkat cerita, ibu hamil dan bayinya selamat setelah tindakan operasi. “Setelah kejadian itu saya bertekad untuk mengabdikan diri sebagai sukarelawan,” ucap Fifi. Setelah lulus ujian PNS, Fifi yang saat itu masih berusia 20 tahun ditempatkan di daerah pegunungan Labuan Bajo, sebelum kemudian mendapat penempatan di tanah kelahirannya, Desa Komodo pada tahun 2013. (mjr/mw)

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait