KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

Program INEY: Aksi Penurunan Stunting Harus Lebih Memberdayakan Desa

22 Desember 2022 | Berita, Media

JAKARTA (https://stunting.go.id)- Program Percepatan Penurunan Stunting telah berjalan secara masif hingga ke level desa. Gerakan yang masif menunjukkan terlaksananya Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN-PASTI). Namun di sisi lain, masih terdapat beberapa kekurangan yang harus dibenahi demi keberhasilan program yang lebih baik di tahun 2023.

Hal ini menjadi perhatian pada Wrap Up Meeting Investing in Nutrition and Early Years (INEY) Program Implementation Support Mission Tahun 2022, yang digelar secara daring pada Jum’at (16/12/2022). Acara yang dihadiri World Bank bersama 12 kementerian dan lembaga ini secara umum mendiagnosis implementasi program INEY dari A sampai Z.

World Bank sebagai mitra program percepatan penurunan stunting, mengevaluasi pelaksanaan Disbursement Linked Indicator (DLI) 1 hingga DLI 10 yang telah dilakukan dalam rentang waktu 2019 sampai 2022. Program-program itu dievaluasi dari indikator kemajuan, peringkat risiko, kepatuhan terhadap hukum fidusia dan lingkungan, serta aspek sosial.

Senior Health Specialist and Cluster Lead for the World Bank’s Health and Nutrition Programs in Indonesia and Timor Leste, Somil Nagpal, yang menjadi pembicara utama dalam pertemuan ini mencatat beberapa rapor program INEY, yang direkomendasikan untuk diperbaiki tahun depan.

Salah satunya adalah berbagai kasus ketidaksinkronan antara program stunting di level desa dengan level di atasnya. Pada saat ini masih banyak desa yang tidak berkontribusi secara signifikan dalam aksi percepatan penurunan stunting, dilihat dari partisipasi anggaran dan program intervensi.

World Bank merekomendasikan koordinasi yang lebih intens antara desa dengan level pemerintahan di atasnya, baik kecamatan maupun kabupaten. Hal ini diperlukan untuk memastikan rencana aksi yang dibuat dari kabupaten telah sesuai dengan kebutuhan desa sesungguhnya, yang disusun berdasarkan skema bottom up.

Selama ini menurut evaluasi World Bank, banyak desa menjadi penerima program stunting secara top down. Meski sebagai salah satu stakeholder utama, akan tetapi desa tidak ikut mendesain aksi percepatan penurunan stunting sesuai situasi faktual yang dihadapi. “Ini menjadi salah satu perhatian kami, bahwa desa perlu koordinasi dengan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Penguatan koordinasi bisa dilakukan melalui sinkronisasi pada rembuk stunting, yang dapat menyerap perencanaan dan penganggaran dari desa,” katanya.

World Bank meminta peran Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa untuk memproduksi kebijakan stunting di tingkat desa/kelurahan berbasis problem faktual yang dihadapi.

Sebagai bagian dari langkah awal, basis data harus dikuatkan. Menurut Somil Nagpal, data sangat penting untuk menjadi referensi kebijakan. “Banyak data digunakan untuk laporan, tetapi belum menjadi dasar implementasi program. Data-data yang ada sifatnya harus terbuka dan aksesibel baik oleh desa maupun pihak penerima manfaat,” tandasnya.

Untuk menjamin data-data bisa dengan mudah diakses diperlukan soliditas tim yang kuat, dengan mengesampingkan ego sektoral. Salah satu contoh yang baik adalah yang dilakukan Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Di Sumedang, data-data dikumpulkan di sebuah dasbor yang menyediakan data lengkap dengan visualisasi. Data ini bersifat terpadu dan mudah diakses oleh berbagai elemen yang membutuhkan.

Dengan cara ini, desa-desa di Sumedang dapat membuat perencanaan desa dengan proses penganggaran yang akurat. Dengan data-data ini pula proses rembuk desa menjadi lebih bermutu dan faktual berbasis fakta lapangan dan data pendukung. (mjr/mw)

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait