JAKARTA (stunting.go.id)- Sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program percepatan penurunan stunting diusulkan menggunakan satu basis data yang sama. Selama ini, pemantauan dan evaluasi program terkait percepatan penurunan stunting dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi di kementerian dan lembaga selama ini didukung oleh sistem pengelolaan data terpadu dengan mengoptimalkan sistem informasi yang sudah ada, berdasarkan dashbor yang mereka punya. Data-data inilah yang menyuplai bahan bagi pimpinan unit ketika melaporkan pencapaian penurunan stunting kepada ketua pelaksana maupun ketua pengarah.
Menurut Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, berbagai sistem perencanaan dan penganggaran yang ada tersebut sejauh ini belum benar-benar terintegrasi sehingga memungkinkan beda versi dan persepsi.
“Untuk perencanaan, penganggaran, dan pemantauan di tingkat sub nasional, masing-masing sistem itu memiliki mekanisme sendiri dan menggunakan definisi yang berbeda-beda yang tidak benar-benar saling kompatibel,” katanya ketika memberi pemaparan di depan delegasi Republik Demokratik Rakyat Laos yang berkunjung ke Indonesia selama 4 hari untuk belajar percepatan penurunan stunting di Indonesia, di Hotel Grand Mercure Jakarta, (6/9/2023).
Program penurunan stunting di Indonesia telah mencapai hasil optimal, dengan penurunan prevalensi 2,3% per tahun selama empat tahun terakhir. Pemerintah menargetkan penurunan hingga 14% di tahun 2024, sehingga harus bekerja keras di sisa waktu yang ada. Di tengah kesuksesan tersebut, Amich Alhumami melihat satu celah yang perlu diperbaiki, yaitu sistem database yang belum terintegrasi penuh.
Selama ini program percepatan penurunan stunting telah berjalan baik, akan tetapi belum tentu menghasilkan impact yang sama persis di tiap kementerian. Faktanya, sumber data yang dipakai masih multiplatform yang bersifat “fragmented”. Perencanaan dan penganggaran di provinsi dan kabupaten saja masih terpisah-pisah. Contohnya, ada Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) dan pada saat yang sama ada electronic Human Development Worker (e-HDW), dan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes).
Di level kementerian dan lembaga negara juga sama. Mereka masih menggunakan basis data sendiri-sendiri secara terpisah dan hanya sedikit kemampuan berbagi data. Beberapa kementerian apabila bicara tentang bujet stunting akan berbeda-beda angkanya karena mereka menggunakan sumber terpisah-pisah yang tidak disinkronisasi, misalnya Kemenkes, Kementerian PUPR, Bappenas, Kementerian Pertanian, dan Kemendikbudristek memiliki versi yang berlainan.
Di tingkat pusat saja ada banyak platform perencanaan dan penganggaran, monitoing dan evaluasi, seperti e-Monev, Satu Adja, Smart Planning& Budgeting, Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (Span), dan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Sakti). “Semuanya itu tidak sepenuhnya terintegrasi dan sulit untuk diintegrasikan karena mereka menggunakan mekanisme dan definisi operasional sendiri-sendiri, sehingga tak mungkin diintegrasikan,” tandasnya.
Amich mengusulkan basis data dan engine-nya disatukan, bukan sekadar interkoneksi saja. Penyatuan ini penting guna memastikan semua data mengacu pada metadata yang sama termasuk definisi, unit, dan semua asumsi lainnya serta dapat dioperasikan antar sistem. “Saat ini kebutuhannya adalah mengembangkan satu dashboard yang komprehensif untuk mengintegrasikan data dari seluruh sistem informasi utama,” jelasnya.
Saat ini sudah ada Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Perpres itu mendefinisikan satu data sebagai suatu sistem pengelolaan data yang menghasilkan data yang akurat, terkini, terpadu, dan andal, mudah diakses, namun dapat dioperasikan antar kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan daerah. Bila penyatuan data dapat terlaksana, maka semua data secara sinkron dapat linier ketika dibuat perencanaan, mulai dari input awal, proses, output, dan outcome. (mjr.mw)