JAKARTA (https://stunting.go.id)- Peran aktif pemerintah desa menjadi salah satu aspek kunci yang dapat mempercepat penurunan stunting. Guna memberdayakan peran pemerintah desa dalam aksi nasional percepatan penurunan stunting, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) Setwapres bekerja sama dengan Bank Dunia menggelar Lokakarya Peningkatan Koordinasi Penggiat di Desa/Kelurahan untuk Percepatan Penurunan Stunting. Acara ini digelar secara hybrid meeting, berpusat di Hotel Mandarin, Jakarta Pusat, (15/12/2022).
Sejumlah unsur pemerintah yang hadir di antaranya Setwapres, Kemenko PMK, Kemenkes, Kemen PPN/Bappenas, Kemendagri, Kemensos, Kemendesa, dan BKKBN. Dalam acara ini hadir pula perwakilan Bank Dunia sebagai mitra dalam program percepatan penurunan stunting. Dari pihak desa, yang turut hadir adalah pemimpin desa/kelurahan dari enam kabupaten, yaitu Sumedang, Karang Asem, Kubu Raya, Serdang Begadai, Sinjai, dan Lombok Tengah.
Pemerintah pusat mengharapkan, desa-desa lebih tajam menemukan titik-titik krusial stunting dan turut melakukan intervensi secara tepat sasaran. Salah satu fondasi yang diperlukan dalam aksi tersebut adalah penganggaran dana desa.
Problemnya saat ini, masih banyak desa yang terlalu minim mengucurkan dana desa untuk mitigasi stunting, terutama terkait intervensi spesifik. Hal ini dipicu banyak hal, di antaranya masih minimnya peran kecamatan dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi. Saat ini sebagian pemerintah desa masih takut-takut mengucurkan dana untuk penanganan stunting, terutama terkait intervensi spesifik. Padahal hal ini telah dijamin oleh Permendesa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2018, disebutkan bahwa dana desa dapat digunakan untuk kegiatan penanganan stunting sesuai musyawarah desa.
Menurut Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres, Suprayoga Hadi, diskusi ini menargetkan adanya kesepakatan rencana tindak lanjut antara kementerian dan lembaga. Fungsinya untuk mengoptimalkan peran penggiat di desa/kelurahan dalam pendampingan sasaran prioritas stunting.
“Payung hukumnya sudah jelas, tetapi kontribusi desa masih terhitung minim. Ini memerlukan dorongan dari pusat,” kata Suprayoga Hadi. Sampai saat ini, program percepatan penurunan stunting telah berhasil melibatkan banyak pihak. Tetapi elemen desa justru belum terlibat secara holistik. Misalnya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) sebagai penyerap aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa belum dilibatkan dalam penanganan stunting.
Pelibatan penggiat desa dan lembaga adat urgen dilakukan untuk mencapai daya dukung yang maksimal. Misalnya, dengan melibatkan mereka dalam forum-forum resmi, seperti rembuk stunting.
Dalam acara tersebut terungkap berbagai persoalan terkait seretnya dana desa untuk belanja penanganan dan pencegahan stunting. Berbagai problem tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu yang terkait perencanaan dan penganggaran; monitoring, evaluasi dan data; serta pendampingan dan peningkatan kapasitas.
Plt. Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa PDTT Eppy Lugiarti mengungkapkan, pihaknya telah memberikan percepatan pada hal ini, meski faktanya berbagai hambatan masih membentang di depan mata.
Terkait percepatan penurunan stunting, Kemendesa telah mencanangkan program yang harus dilaksanakan oleh desa-desa. Hal itu dirumuskan dengan target, bahwa 90 persen pemerintah desa harus berkinerja baik dalam percepatan penurunan stunting pada tahun 2024. Untuk mendorong hal ini telah dialokasikan insentif finansial bagi desa yang dinilai berkinerja sesuai harapan.
Selain itu, Kemendesa PDTT juga menargetkan 90 persen desa meningkatkan alokasi Dana Desa untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif pada tahun 2024. Untuk mempercepat proses itu, telah dibentuk Kader Pembangunan Manusia (KPM) yang bertugas memastikan data-data intervensi valid, penerima manfaat mendapatkan layanan secara lengkap, dan memantau penerimaan layanan kepada penerima manfaat. “Kader-kader ini bisa dipakai untuk mempercepat koordinasi dan realisasi anggaran stunting di level desa,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Paudah, menekankan perlunya sosialisasi agar desa lebih melek beleid yang berlaku. Sebenarnya pemerintah desa memiliki kebebasan membuat alat kelengkapan sendiri apabila diperlukan.
“Pemerintah Desa dan masyarakat desa dapat membentuk Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) tersendiri sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan,” katanya. Menurutnya, sejak lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Tahun 2014, LKD merupakan wadah partisipasi masyarakat mitra pemerintah desa yang membantu kepala desa dalam peningkatan pelayanan sosial dasar masyarakat desa.
LKD boleh menggunakan dana desa dalam operasionalnya. Posyandu misalnya, dahulu statusnya Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), tetapi kini menjadi LKD. Artinya, operasionalnya dapat difasilitasi pemerintah desa melalui musyawarah dan mufakat. (mjr/mw)