KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

Fortifikasi, Salah Satu Tulang Punggung Cegah Stunting

1 April 2021 | Berita

Bila kita mendengar kata stunting, pada umumnya masyarakat akan mengarah pada masalah kekurangan gizi pada balita. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena stunting memang terkait dengan kualitas asupan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) pada anak. Berdasarkan Global Nutrition Report (GNR) tahun 2018, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami beban ganda gizi. Fortifikasi pangan masuk dalam kerangka kebijakan akselerasi perbaikan gizi pada 1000 HPK. Pemerintah melakukan fortifikasi pada sejumlah bahan pangan di Indonesia untuk memperbaiki masalah gizi tersebut,

Fortifikasi pangan sendiri bukanlah masalah baru. Sebagai gambaran singkat, pada masa pemerintahan Belanda tahun 1927, diwajibkan fortifikasi garam yang pada saat itu hanya dikelola oleh Perusahaan Negara (PN) Garam di Madura. Pada 1980, mulai dilakukan fortifikasi garam beriodium, MSG dengan vitamin A, dan terigu. Namun, fortifikasi MSG tidak dilanjutkan karena adanya isu dampak negatif dari MSG.

Pada tahun 1994, presiden menerbitkan Keputusan Presiden No. 69 tahun 1994 tentang mewajibkan iodisasi garam.  Kemudian, fortifikasi tepung terigu juga ikut diwajibkan melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu.

Lalu, mengapa fortifikasi ini penting? Karena, fortifikasi pangan merupakan salah satu intervensi pemenuhan zat gizi mikro masyarakat yang terbukti cost-effective. Defisiensi gizi mikro berupa kekurangan asupan besi, zink, iodium, dan vitamin A dikenal dengan istilah hidden hunger. Salah satu dampak kekurangan gizi mikro adalah stunting.

Lebih dari itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 disebutkan perlunya upaya meningkatkan SDM (sumber daya manusia) berkualitas dan berdaya saing melalui percepatan penurunan stunting. Selain itu, diperlukan penguatan ketahanan ekonomi melalui peningkatan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan melalui fortifikasi dan biofortifikasi pangan.

Dalam Strategi Percepatan Pencegahan Stunting, Ketahanan Pangan dan Gizi dimasukan ke dalam Pilar 4. Salah satu indikator dalam pilar ini adalah kebijakan peningkatan fortifikasi pangan.

“Tahapan kajian sudah membuktikan bahwa sebenarnya fortifikasi adalah cara yang sangat efektif untuk pemenuhan asupan gizi bagi masyarakat miskin. Jadi sudah pasti efektif dan bisa mencukupi kebutuhan, misal zat besi untuk menurunkan angka anemia, vitamin A pada minyak goreng dapat menurunkan prevalensi kekurangan vitamin A pada sasaran,” kata Direktur Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Dhian Proboyekti dalam acara  International Workshop: The Role of Food Fortification and Biofortification, Senin (22/3). Workshop daring tersebut diadakan oleh Institute Gizi Indonesia (IGI) dan Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI).

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Setwapres, Suprayoga Hadi mengatakan bahwa fortifikasi adalah salah satu faktor penting dalam penurunan stunting.  “Kita mencoba memberikan penekanan kepada konvergensi dalam penurunan stunting dalam konteks lebih ke fortifikasi, yang merupakan salah satu tulang punggung dalam percepatan penurunan stunting,” kata Suprayoga.  Konvergensi melibatkan kementerian dan lembaga pusat yang bertanggungjawab pada Pilar 4 Stranas Stunting yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Badan POM. Suprayoga juga mendorong agar pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga tingkat desa dapat lebih dilibatkan dalam program fortifikasi ini.

“Fortifikasi sudah termuat dalam RPJMN 2018-2024, sudah masuk dalam Pilar 4 Stranas Stunting, juga sudah ditetapkan mana yang termasuk mandatory atau voluntary. Jadi Ini sudah termuat dari tahun 2018. Saya pikir tinggal memantapkan, kita akan dorong ke depan,” tambah Suprayoga.

Pelaksanaan fortifikasi wajib sempat mengalami penundaan sebagai dampak Pandemi Covid-19. Penundaan dilakukan melalui penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian No. 5 Tahun 2020 tentang Pengecualian Sementara Penambahan Zat Fortifikan Pada Tepung Terigu, dan SE No. 6 Tahun 2020 tentang Pengecualian Sementara Kandungan Vitamin A dan atau Provitamin A pada Minyak Goreng Sawit. Namun relaksasi tersebut telah berakhir pada tanggal 31 Desember 2020, dan fortifikasi wajib tepung terigu dan minyak goreng sawit kembali dilaksanakan mulai 1 Januari 2021.

Perlu dingat, bila tepung terigu dan minyak goreng adalah produk pangan yang sangat tinggi konsumsinya di Indonesia. Sebagian besar rumah tangga menggunakan kedua bahan pangan ini dalam makanan sehari-hari, termasuk rumah tangga miskin.  Dengan adanya kewajiban minyak goreng sawit dan tepung difortifikasi dengan tambahan zat fortifikan, maka diharapkan pemenuhan gizi bagi seluruh keluarga, termasuk keluarga miskin, akan  dapat tercapai. Ini akan berkontribusi pada upaya pencegahan stunting secara keseluruhan.

Tautan tentang manfaat fortifikasi.

Tautan tentang pentingnya fortifikasi Vitamin A.

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait