Mamuju,- Pernikahan anak menjadi tantangan utama program penurunan stuntng di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Menurut Bupati Mamuju, Sutinah Suhardi, pernikahan anak di bawah umur menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka stunting di daerahnya. “Persoalan ini tidak boleh dianggap remeh karena menjadi penyebab rendahnya kualitas generasi muda,” kata Sutinah di Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (3/8/2023).
Meskipun pihaknya terus melakukan sosialisasi, tetapi kasus perkawinan di bawah umur masih tetap berlangsung. Padahal pernikahan dini dapat berdampak buruk terhadap anak atau keturunannya. Saat ini angka pernikahan anak di Sulbar mencapai 11,70 persen atau berada pada posisi kedelapan dari seluruh provinsi di Indonesia. Angka ini selaras dengan tingginya kasus stunting. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, angka stunting di Sulbar naik dari 33,8 persen (2021) menjadi 35.00 persen (2022).
Menurut Sutinah, diperlukan langkah kolaborasi dari semua pemangku kepentingan maupun pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menekan angka pernikahan usia dini di Sulbar. Maka dari itu pemerintah Sulbar melibatkan lintas sektoral yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat maupun TNI dan Polri, serta pemuda dan kaum perempuan. Baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Mamuju mengalokasikan anggaran Rp2 miliar untuk program pangan bergizi yang menyasar ibu-ibu hamil dan balita melalui Posyandu.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk mewujudkan itu negara membatasi perkawinan harus pada usia dewasa. Batas usia pernikahan dalam UU 1 Tahun 1974 minimal untuk perempuan adalah 16 tahun, kini dalam UU No 16 Tahun 2019 diubah menjadi 19 tahun.
Perkawinan usia anak dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.
Pernikahan sebelum waktunya ini memiliki dampak kesehatan dan dampak jangka panjang dari segi psikologis. Mentalitas remaja yang labil dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga yang mengarah pada gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan post traumatic stress disorder. Belum lagi jika pasangan muda menghadapi keguguran yang sering terjadi pada pasangan suami istri berusia muda. Peristiwa-peristiwa seperti itu juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental dan trauma jangka panjang. (mjr/mw)