ABEPURA (https://stunting.go.id)- Persoalan stunting di Papua masih memerlukan perhatian khusus. Dalam Rekonsiliasi Stunting Tingkat Provinsi Papua tahun 2022 yang digelar di Abepura, (21/11/2022), intervensi kepada keluarga berisiko stunting akan lebih diintensifkan lagi.
Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, angka prevalensi stunting Provinsi Papua berada di angka 29,5 persen. Angka stunting 29,5 persen itu bervariasi di 29 kabupaten/kota. Prevalensi stunting tertinggi berada di Kabupaten Pegunungan Bintang, yaitu 55,5 persen stunting. Sedangkan prevalensi terendah ada di Kabupaten Nabire.
Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) Provinsi Papua menargetkan penurunan prevalensi angka stunting turun hingga 15,5 persen dalam tiga tahun ke depan. Hal itu berarti per tahun harus turun sebesar 5 persen, sehingga dapat tercapai kisaran angka 14 persen pada tahun 2024.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Papua Nerius Auparay mengungkapkan, Papua masih membutuhkan intervensi menyeluruh. Untuk itu, pihaknya menambah 17.385 personil pendamping keluarga yang saat ini sudah dilatih.
Mereka akan diterjunkan untuk melakukan pendampingan kepada keluarga yang berisiko stunting di seluruh Provinsi Papua. Dengan jumlah itu, setiap kampung akan mendapat pendamping tambahan tiga orang, terdiri dari tenaga bidan, tenaga kesehatan, dan unsur PKK. “Mereka harus dari kampungnya sendiri, kecuali tenaga bidan,” katanya.
Banyak daerah masih membutuhkan intervensi pada aspek sensitif, seperti pembangunan instalasi air bersih, sanitasi, kawasan lingkungan sehat, dan perumahan layak huni. Pemahaman masyarakat terkait kesehatan, khususnya dalam konteks pencegahan risiko stunting juga masih kurang.
Saat ini di Papua telah terbentuk 28 TP2S di kabupaten/kota, 526 TP2S tingkat distrik, dan 4.488 TP2S tingkat kampung. Kampung-kampung telah diintervensi dengan pemberdayaan Kampung Keluarga Berkualitas.
Dalam acara rekonsiliasi stunting tersebut juga terdapat fenomena unik, di mana anak-anak di pedalaman yang jauh terpencil malah lebih gemuk dan sehat, dibanding dengan anak-anak di daerah yang lebih terjangkau. Disinyalir, perhatian orang tua di perkotaan dan pesisir terhadap anak-anak tidak lebih baik daripada tradisi pedalaman. Selain itu, kebanyakan orang tua di daerah perkotaan memiliki kebiasaan merokok.
Tim Leader Ditjen Bangda-Kemendagri Kurniawan Zulkarnaen mengatakan, pemerintah pusat harus memastikan terbentuknya tim percepatan penurunan stunting di kabupaten/kota dan itu berfungsi. “Kita juga perlu memastikan gubernur, bupati/wali kota, dan kepala distrik berkomitmen di dalam percepatan penurunan stunting yang diintegrasikan di dalam dokumen perencanaan RPJP dan RKP,” katanya. (mjr/mw)