JAKARTA (stunting.go.id),- Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan stunting di Indonesia adalah dengan meningkatkan layanan kesehatan di semua tingkatan, dari Posyandu hingga rumah sakit. Tahun ini, prevalensi stunting di Indonesia berada di level 21,6 persen menurut data SSGI tahun 2022, dan harus mengejar target turun menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Direktur Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Ir. Restuardy Daud, M.Sc, mengatakan secara umum permasalahan stunting merupakan indikasi adanya permasalahan pada tata kelola pelayanan kesehatan. Maka dari itu, untuk mengejar penurunan stunting dengan akselerasi, titik yang harus disentuh adalah layanan kesehatan publik. “Banyak hal yang dapat dilakukan terkait tata kelola kesehatan. Kita bisa mulai dengan penguatan perencanaan dan penganggaran yang lebih baik,” katanya.
Hal ini terungkap dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Penurunan Stunting yang digelar Sekretariat Wakil Presiden di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, 6 Oktober 2023. Menurut Teguh, aksi nasional percepatan penurunan stunting telah dilakukan secara masif di seluruh Indonesia. Hasilnya cukup signifikan, yakni dapat menurunkan prevalensi stunting 9,2 persen poin sejak tahun 2018, meskipun masih terdapat banyak kekurangan.
Sejauh ini, sebanyak delapan aksi konvergensi telah dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Para pimpinan daerah melaporkannya setiap tahun kepada Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2023 ini, sebanyak 514 kabupaten/kota telah melaporkan pelaksanaan delapan aksi konvergensi pada Ditjen Bangda, sementara itu 33 kabupaten/kota belum melapor.
Pada pelaksanaan delapan aksi konvergensi tersebut beberapa masalah di lapangan masih sering terjadi. Di antaranya tentang kualitas pelaksanaan program, kapasitas sumber daya manusia, serta perencanaan dan penganggaran. Problem ini harus segera diatasi sehingga layanan kesehatan dapat memberikan performa yang lebih baik. “Kemendagri mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota agar meningkatkan alokasi APBD, agar target 14 persen pada 2024 terwujud,” tambahnya.
Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Endang L. Achadi mengatakan, aksi penurunan stunting yang dilakukan pemerintah belum cukup untuk mengatasi masalah kesehatan di seluruh Indonesia. Agar cakupan program bisa lebih luas, diperlukan aksi multisektor secara kolaboratif. Endang mencontohkan negara-negara yang dapat mencapai target penurunan stunting secara konsisten, yaitu Cina, India, Brazil, Thailand, dan Vietnam, mereka melakukan pendekatan multisektoral dengan melibatkan mitra non pemerintah.
“Program ini memang memerlukan waktu yang cukup lama dan perlu fokus. Dari banyak pilihan aksi, prioritaskan yang paling mudah dilakukan tetapi berdaya ungkit tinggi,” katanya. Program penurunan stunting yang sudah dilaksanakan selama ini sebetulnya sudah berhasil dalam skala tertentu. Hal itu dibuktikan dengan penurunan angka prevalensi yang cukup signifikan dari 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022.
Namun Endang menilai, capaian perbaikan indikator determinan masih kurang optimal, makanya penurunan stunting di berbagai daerah kurang konsisten. “Masih perlu upaya mempertajam program dan lebih fokus pada titik yang menghasilkan pengaruh besar,” katanya.
Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, menjelaskan program-program yang secara langsung dapat memperbaiki kualitas gizi publik telah dilakukan secara nasional dengan berbagai tahap dan cara. Dengan rentang wilayah yang sangat luas, tentu saja sulit menjangkau seratus persen sasaran. Namun setidaknya daerah-daerah prioritas telah mendapat dan melaksanakan program dengan baik.
Pada tahun 2022 lalu, sejumlah keberhasilan telah tercapai, seperti penyediaan data Keluarga Risiko Stunting (KRS) sebanyak 21,9 juta. Data ini masih naik lagi pada semester 1 tahun 2023 menjadi sebesar 15,5 juta. Data ini memudahkan para petugas di lapangan untuk menjangkau langsung ke titik sasaran. Kemudian pendampingan KRS telah dilakukan dan sebanyak 97 persen kabupaten kota telah memiliki tim pendamping KRS.
Sementara itu, calon pengantin juga sudah banyak disentuh. Terhitung sebesar 75,51 persen calon pengantin telah memperoleh pemeriksaan kesehatan. “Calon pengantin ini memegang peranan penting sebagai hulu dari masalah stunting. Bila mereka memiliki kesadaran yang baik, maka stunting dapat diturunkan semaksimal mungkin,” katanya. (mjr.mw)