JAKARTA (stunting.go.id)- Angka prevalensi stunting di Indonesia menurun signifikan sejak pemerintah Indonesia menerapkan strategi nasional percepatan penurunan stunting. Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan (PMPP) Setwapres, Suprayoga Hadi, mengungkapkan komitmen politik para pemimpin pemerintahan di semua tingkatan menjadi kunci keberhasilan aksi nasional percepatan penurunan stunting.
“Komitmen politik semua level kepemimpinan mulai pusat hingga daerah memegang peran sentral dalam aksi nasional percepatan penurunan stunting,” kata Suprayoga Hadi saat memberikan materi di depan delegasi Republik Demokratik Rakyat Laos yang melakukan kunjungan studi tentang percepatan penurunan stunting di Indonesia. Komitmen kepemimpinan semua level berhasil dijalin dengan kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden yang secara langsung turun tangan menangani persoalan kekurangan gizi kronis pada anak.
Deputi PMPP Setwapres, Suprayoga Hadi, tampil bersama Kepala Pusat Pelatihan, Kerjasama Internasional Kependudukan dan KB, BKKBN. Ukik Kusuma Kurniawan, dalam panel yang dimoderatori Novika Widyasari dari Sekretariat Wakil Presiden.
Kita tahu, pemerintah Indonesia secara khusus telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S). Tim ini melibatkan 20 kementerian dan lembaga negara. Selain itu juga 514 kepala daerah se-Indonesia telah menyatakan komitmennya dan secara aktif mengambil peran dalam kapasitas dan kewenangannya masing-masing. Para pemimpin semua level itu secara bersama-sama mengawal aksi nasional untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting yang telah ditargetkan Presiden, turun menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Suprayoga Hadi memaparkan, Indonesia pada awalnya termasuk salah satu negara dengan permasalahan gizi buruk yang cukup parah. Pada tahun 2018, dari 514 kabupaten hanya 34 kabupaten yang memiliki prevalensi stunting di bawah 20 persen. Sebagian besar provinsi, prevalensi stuntingnya masih tercatat di atas 30 persen, termasuk Jakarta. Ketika itu, 30,8 persen anak Indonesia berstatus stunted, sementara 10,2 persen lainnya terlalu kurus (wasting), 17,7 persen mengalami kekurangan berat badan (underweight), 8 persen mengalami kegemukan (obesitas), dan bayi-bayi banyak yang lahir dengan berat badan di bawah standar sebesar 6,2 persen.
Saat itu tidak terlihat tanda-tanda kondisi akan membaik. Faktanya, angka anemia pada ibu-ibu yang hamil masih tinggi, yaitu 48,9 persen, angka imunisasi komplit pada bayi 12-23 bulan baru 57,9 persen, dan anak usia 5 tahun yang belum tersentuh imunisasi sama sekali mencapai 9,2 persen.
Atas kenyataan ini, pada tahun 2018 pemerintah menyusun Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Stranas ini menetapkan rencana aksi nasional yang harus diadopsi oleh semua struktur pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa. Dengan Stranas ini, aksi nyata penurunan stunting dilaksanakan secara konvergen di semua lini dan tingkatan.
Pada tahun 2021, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Stranas yang sudah disusun sebelumnya diadopsi dalam Perpres ini. Dalam Perpres ini, Wakil Presiden ditetapkan sebagai Ketua Pengarah Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S), dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana TP2S.
Setelah empat tahun bekerja, pemerintah mencetak pencapaian yang cukup menggembirakan, meski prevalensi stunting belum dapat memenuhi target 14 persen. Prevalensi stunting turun dari 30,8 persen pada tahun 2018 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Artinya, dalam 4 tahun (2018-2022), prevalensi stunting Indonesia turun 9,2 persen poin.
Kepala Biro Perencanaan BKKBN, Ukik Kusuma Kurniawan, yang menjadi pemateri kedua menekankan pentingnya kolaborasi multisektor. Selain pemerintah di semua level, program percepatan penurunan stunting juga melibatkan swasta, perguruan tinggi, kelompok masyarakat, dan media massa. “Program ini dapat mencapai hasil signifikan berkat keterlibatan semua stakeholders secara aktif,” katanya.
Para delegasi Laos, yang berjumlah 17 orang dari lima kementerian mendengarkan dengan seksama penjelasan ini. Salah satu tim delegasi Laos dari unsur Uni Eropa, Assunta Testa, menanyakan keterlibatan ahli nutrisi dan elemen lain yang dianggap signifikan. Ia juga menanyakan keterlibatan mitra eksternal, karena program di Indonesia dilakukan secara kolaboratif. “Kami memiliki ahli-ahli dari universitas, dan daya dukung elemen non pemerintah cukup kuat. Besok dalam kunjungan ke Depok, kami akan pertemukan dengan Anda sekalian,” kata Ukik Kusuma Kurniawan. []