JAKARTA (stunting.go.id)- Penurunan stunting di Indonesia masih dapat diakselerasi lagi hingga mencapai target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 14 persen pada tahun 2024. Ini berarti memerlukan penurunan sebasar 7,6 persen poin dalam dua tahun atau 3,8 persen poin per tahun.
Akan tetapi, tentu saja memerlukan perbaikan dalam tata kelola, intervensi sensitif, dan intervensi spesifik. Analis Kebijakan Publik Ah. Maftuchan mengatakan, untuk mencapai target yang sangat tinggi itu diperlukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi yang leih kuat antar kementerian dan lembaga, dan antar tingkatan pemerintahan.
Hal itu dikatakannya saat memberikan paparan berjudul “Evaluasi Agenda Penurunan Stunting di Indonesia: Penguatan Pendekatan Multidimensi & Multipihak” di ajang Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan penurunan Stunting 2023 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta (4-7/10/2023). Acara yang digelar oleh Sekretariat Wakil Presiden ini diikuti oleh 14 provinsi dan 288 kabupaten/kota se-Indonesia.
Menurut Maftuchan, angka prevalensi stunting turun signifikan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Di era ini, angka prevalensi stunting telah turun 9,2 persen poin dari 30,8% (2018) menjadi 21,6% (2022). Namun sayangnya capaian itu masih jauh dari target 14 persen di akhir masa jabatan keduanya.
Maftuchan, yang duduk sebagai Direktur Eksekutif The Prakarsa, ini menunjuk sejumlah kekurangan sebagai evaluasi internal agar program percepatan penurunan stunting mengalami perbaikan. Sejauh ini program percepatan penurunan stunting telah melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun swasta.
Tetapi masalahnya, keterlibatan swasta pada saat ini sifatnya masih partisipatif. “Penurunan stunting masih menjadi milik pemerintah. Warga dan rumah tangga masih belum punya kesadaran peningkatan gizi yang kuat,” tandasnya. Ini menunjukkan bahwa stunting belum menjadi isu sosial kemasyarakatan yang populer.
Sejauh ini aksi bersama cegah stunting yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga masyarakat, serta pihak swasta telah bekerja dengan baik dan dalam skala tertentu berhasil menurunkan angka stunting di sejumlah daerah di Indonesia.
Kolaborasi lintas sektoral ini tampaknya telah cukup berhasil dengan penurunan persentase angka kasus stunting secara gradual dan pasti. Namun, kolaborasi ini lebih banyak diinisiasi oleh pemerintah dan posisi publik atau swasta lebih banyak menjadi partisipan.
“Pemerintah harus mulai memberikan ruang kepada aktor non-pemerintah untuk menjadi aktor pelaksana, aktor pendamping, dan aktor pemantau yang utuh,” imbuhnya.
Ia memperingatkan pemerintah agar menghentikan mobilisasi dana dari
swasta, namun justru pemerintah harus mendorong swasta untuk jadi aktor pelaksana sepenuhnya. Pemerintah hanya perlu menjaga agar aksi yang dilakukan swasta tetap konsisten dengan strategi nasional dan tak lepas dari aksi konvergensi yang telah ditentukan.
Lebih lanjut, Maftuchan juga menilai level komitmen pimpinan di kementerian dan lembaga serta antar level pemerintahan, seperti pemprov, pemkab/pemkot dan pemdes masih belum satu frekuensi. Hal ini terlihat dari banyaknya daerah yang belum menempatkan stunting dalam prioritas anggaran dan juga masih ada yang menganggap stunting hanya domain bidang kesehatan saja.
Ia meminta hal ini menjadi salah satu yang harus diperbaiki untuk tahun ini dan tahun depan. “Untuk itu target 14 persen pada tahun 2024 harus menjadi join outcome oleh kementerian dan lembaga, Pemprov, Pemkab/Pemkot, Pemdes, korporasi, filantropi, dan organisasi masyarakat sipil,” katanya.
Ia juga melihat tahun depan rawan gangguan oleh kebisingan politik karena ada pemilu. Maka, ia memperingatkan unsur TP2S harus membentengi agenda penurunan stunting dari hiruk pikuk eksternalitas negatif pemilu 2024. (mjr.mw)