BANDUNG (stunting.go.id)- Pemerintah telah berupaya keras menurunkan angka prevalensi stunting, namun kasus stunting baru terus bermunculan. Setiap tahun terdapat 1,2 juta balita stunting baru yang terpantau dari pemeriksaan yang dilakukan Posyandu di seluruh Indonesia. Kasus-kasus stunting baru ini disebabkan oleh kurangnya pemeriksaan pada perempuan sebelum kehamilan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan, kesadaran calon ibu untuk memeriksakan kesehatan sebelum hamil masih rendah. Ia mengimbau perempuan yang telah menikah agar memiliki kesadaran sendiri memeriksakan kondisi kesehatannya secara rutin. “Ini penting untuk memastikan calon ibu dalam kondisi sehat dan anak yang akan dilahirkan tidak berisiko stunting,” kata Hasto dalam puncak peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia di Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (23/10/2023).
Minimnya kesadaran pemeriksaan kesehatan calon ibu sebelum hamil adalah masalah tersendiri. Selama ini, Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) di semua level gencar melakukan intervensi spesifik kepada ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita.
Jika remaja putri kurang terpantau, ketika mereka menikah dan bereproduksi dalam kondisi anemia atau kekurangan hemoglobin dalam darahnya, maka bayinya berpotensi lahir kekurangan gizi. Oleh karena itu, pemeriksaan itu sangat penting untuk mendeteksi anemia dan defisiensi atau kekurangan vitamin D pada calon ibu.
Terdapat sekitar 1,9 juta pasangan di Indonesia yang menikah setiap tahun. Sekitar 80 persen dari mereka langsung hamil setelah menikah. Kehamilan pasangan baru ini banyak yang kurang terdeteksi, karena remaja putri tidak berada dalam jangkauan Posyandu. Selain pemeriksaan kesehatan sebelum hamil, penggunaan alat kontrasepsi penting untuk mencegah anak dari stunting. Sebab, jarak kelahiran yang terlalu dekat berpotensi menyebabkan anak minim perhatian dan berpotensi mengalami stunting. Idealnya, 4,8 juta dari ibu yang melahirkan di Indonesia per tahun, salah satu dari pasangannya segera menggunakan alat kontrasepsi.
Untuk menjangkau remaja putri yang siap nikah, pemerintah telah membuat aplikasi khusus bernama elsimil atau elektronik siap nikah siap hamil. Aplikasi ini menjadi pencatat kondisi remaja putri yang mau menikah dan merekomendasikan aksi untuk menjauhkan pengguna dari kemungkinan risiko melahirkan bayi stunting. Elsimil selama ini diterapkan oleh BKKBN dan Kementerian Agama melalui jaringan Kantor Urusan Agama bagi para remaja putri yang mendaftar untuk menikah.
Namun, cakupan pengguna elsimil ini masih rendah, sehingga pemerintah belum dapat mengambil kendali secara penuh kepada remaja putri. Di sisi lain, intervensi kepada remaja putri sering dilakukan di sekolah-sekolah dengan memberikan tablet tambah darah bagi remaja putri. Namun di luar itu, jumlah remaja putri siap nikah yang tidak terkontrol tetap banyak. (mjr.mw)