JAKARTA (https://stunting.go.id)- Sebuah temuan mengejutkan disampaikan oleh Guru Besar Gizi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Tria Astika. Dia mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dia lakukan, sebanyak 11,4 persen balita di Banten, 8,4 persen di DKI Jakarta, dan 5,3 persen di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengonsumsi kental manis. Tidak hanya itu, 78,3 persen responden di Banten, 88,1 persen di DKI dan 95,2 persen di DIY memberikan kental manis kepada balitanya lebih dari satu sachet per hari.
“Persepsi masyarakat di tiga wilayah ini masih menganggap kental manis adalah susu,” jelas Tria Astika. Hal itu disampaikannya pada acara “Urun Rembuk Stunting” yang digelar Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU di Jakarta, Kamis (14/12/2023) lalu.
Pada kesempatan itu disampaikan, rendahnya literasi gizi masyarakat menyebabkan ibu memberikan asupan yang tidak cocok untuk balita. Stunting adalah puncak dari persoalan rendahnya literasi gizi masyarakat. Bila literasi gizi buruk, maka pola asuhnya juga buruk.
Hal ini diperparah dengan hadirnya iklan-iklan yang memberikan “literasi” menyesatkan tentang manfaat kental manis yang dimanipulasi sebagai susu.
Hal ini didukung oleh dokter anak dari RS Mayapada, dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A. Menurutnya, fenomena rendahnya literasi gizi cukup meresahkan di saat aksi nasional penurunan stunting terus digencarkan. “Di TikTok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum satu bulan. Hal seperti ini bisa saja terjadi di banyak tempat, dan tontonan seperti ini dapat ditiru oleh ibu-ibu lain karena pada dasarnya pengetahuan mereka tentang gizi cukup rendah,” katanya.
Penata Kependudukan dan KB dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Maria Gayatri, yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih. “Kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ujar Maria. Kebetulan saat ini (BKKBN) sedang melakukan audit stunting.
Masyarakat Indonesia menghadapi kenyataan sosial bahwa ibu-ibu harus bekerja untuk membantu mencukupi nafkah keluarga. Dengan demikian, banyak ibu yang terpaksa tidak dapat memberikan ASI eksklusif pada bayinya hingga usia enam bulan. “Karena literasi gizi mereka rendah, maka larinya ke kental manis,” jelas Ketua bidang advokasi YAICI, Yuli Supriati pada kesempatan yang sama. (mjr.mw)