SEMARANG- Pendekatan kedaerahan diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menurunkan angka stunting. Di antara problem stunting yang dihadapi Provinsi ini adalah maraknya pernikahan anak berusia di bawah 19 tahun. Grafiknya masih naik.
Angka pernikahan anak di Provinsi Jateng pada tahun 2019 berjumlah 3.726 anak. Namun, pada tahun 2020 melonjak menjadi 11.301 anak, dan pada tahun 2021 naik lagi menjadi 11.686 anak.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi Jateng meluncurkan program “Jokawin Bocah” sebuah aksi budaya untuk menekan pernikahan anak. Pemerintah Provinsi Jateng melibatkan komunitas, organisasi, akademisi, media, dan komponen masyarakat lainnya untuk menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, di mana batas terendah usia menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Di Provinsi Jateng, pernikahan anak terjadi karena berbagai faktor. Di antaranya adalah faktor budaya, kemiskinan, dan rendahnya pendidikan, termasuk pendidikan agama. Terkadang pernikahan anak terjadi karena pemahaman agama yang tidak tepat. Misalnya, dari pada terjadi zina, lebih baik dinikahkan.
“Ini pemahaman agama yang keliru. Untuk menghindari zina, menurut sebuah hadits adalah berpuasa, bukan dinikahkan jika masih belum cukup usia. Ada suatu kaidah, adl-dlararu la yuzalu bi adl-dlarari (bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain). Zina itu jelas bahaya dan madarat, tidak boleh dihilangkan dengan menikahkan anak yang belum cukup usia 19 tahun, karena hanya akan menciptakan bahaya atau madarat baru,” jelas KH. Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Fikr Arjawinangun Cirebon, menanggapi maraknya perkawinan anak dengan cara dinikahkan karena takut zina.
Di pedesaan Jawa Tengah, masih ada masyarakat yang memahami fungsi perempuan sebagai penjaga gawang keluarga, sehingga semakin cepat menikah dipandang semakin baik. Masyarakat masih banyak yang menganut kredo bahwa peran perempuan adalah macak (dandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan). Kewenangan perempuan seolah-olah hanya berada di wilayah domestik saja. Cara pandang ini memicu maraknya pernikahan anak. Pernikahan anak menyebabkan tingginya stunting di Jawa Tengah.
Wakil Gubernur Jawa Tengah Gus Taj Yasin mengungkapkan, stunting di daerahnya masih tinggi meski sudah turun tajam. Data SSGI 2021 menunjukkan prevalensi stunting Provinsi Jawa Tengah adalah 20,9 persen, turun dari angka 27,7 persen pada tahun 2019.
Dari 34 kabupaten/kota di Jawa Tengah, terdapat 14 kabupaten/ kota dengan proporsi Balita stunting di atas rata-rata. Sedangkan 21 kabupaten/kota lainnya di bawah rata-rata. Kabupaten Wonosobo adalah daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di Jawa Tengah, yakni mencapai 28,1 persen. Diikuti Kabupaten Tegal 28 persen dan Kabupaten Brebes 26,3 persen.
Kabupaten Grobogan memiliki prevalensi Balita stunting terendah di provinsi ini, yakni hanya 9,6 persen. Setelahnya, ada Kota Magelang dengan prevalensi stunting 13,3 persen, dan Kabupaten Wonogiri dengan prevalensi 14 persen.
Menurut Gus Yasin, jumlah ibu melahirkan di Jawa Tengah rata-rata mencapai 551.000 orang setiap tahun, dengan demikian potensi stunting di Jawa Tengah cukup tinggi. Dahulu penanganan stunting masih dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara tidak integratif. “Namun saat ini sudah dilakukan secara konvergen, holistik, dan terintegrasi,” katanya.
Tentang “Jokawin Bocah” itu adalah jargon yang digaungkan kepada publik untuk menarik lebih banyak perhatian. Sedangkan aksi konkretnya adalah menjalankan semua program kesehatan, termasuk intervensi spesifik dan sensitif, yang ujungnya adalah meningkatkan kualitas kesehatan dan menurunkan total fertility rate (TFR).
Sebelumnya, Provinsi Jateng meluncurkan program “Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng” atau 5Ng. Secara harfiah ini berarti “Jateng Gembira Memantau Ibu Hamil”. Program ini sebenarnya standar, yaitu intervensi intensif kepada ibu hamil, namun frekuensinya dilipatgandakan.
Dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, memiliki pendekatan unik. Setiap pergi ke kabupaten/kota, ia menanyakan hal-hal elementer, seperti berapa jumlah ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi lahir. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan kondisi terkini, seperti berapa yang sakit, dan sudah diberikan apa?
“Ini adalah kampanye mengajak masyarakat untuk memperhatikan kesehatan ibu hamil,” katanya. Untuk Program 5Ng telah diberlakukan sejak 2015, dan menurut klaim Pemerintah Provinsi Jateng telah berhasil menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Jateng. (mjr/mw)