JAKARTA (https://stunting.go.id)– Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) bekerja sama untuk mempercepat penurunan stunting di Indonesia. Kerja sama ini diikat dengan nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di kantor PBNU Lantai VIII, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, pada Rabu (14/12/2022).
Dalam sambutannya, Gus Yahya menyampaikan terima kasih kepada Menteri Kesehatan yang telah ‘mengajak’ NU untuk terlibat dalam menyelesaikan agenda kebangsaan dalam bidang kesehatan. Menurutnya, NU memiliki komitmen tinggi untuk ambil bagian dalam merealisasikan program-program pemerintah yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah).
“Kita ingin membangun konstruksi organisasi yang menjadi alternatif saluran yang membawakan agenda nasional ke basis, terutama agenda dari pemerintah pusat ke basis. Sebab dalam wacana yang kita kembangkan selama ini, ada bottleneck (kebuntuan) karena nature dari sistem otonomi daerah. Nah, NU memiliki mekanisme yang dapat menjadi jalan terobosan untuk mengatasi bottleneck (kebuntuan) tersebut,” ujar Gus Yahya di hadapan wartawan di PBNU.
Gus Yahya yakin, kerja sama yang dibangun bersama Kemenkes, akan meringankan beban pemerintah dalam menyampaikan program ke masyarakat. “Kita punya orang-orang yang siap membantu membangun kemaslahatan di dalam masyarakat kita. Saya yakin ke depan, agenda-agenda yang ada dari Kemenkes insya Allah akan bisa tersampaikan ke masyarakat bawah dan dieksekusi dengan baik melalui struktur di dalam NU,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, struktur NU terbentuk mulai dari pengurus di tingkat pusat bernama pengurus besar, lalu di tingkat provinsi bernama pengurus wilayah, di level kota/kabupaten bernama pengurus cabang, di kecamatan bernama pengurus majelis musyawarah cabang, dan level desa bernama pengurus ranting NU, dan di tingkat dusun atau RT/RW bernama pengurus anak ranting NU.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Yahya juga mengatakan bahwa PBNU baru saja meresmikan Gerakan Keluarga Maslahat bersama 800 pengurus NU tingkat kecamatan (MWC). Oleh karena itu, ia optimis kerja sama dengan Kemenkes akan membuahkan kemaslahatan kepada masyarakat luas.
Gus Yahya menyebut bahwa pengurus NU di Indonesia mencapai ratusan juta anggota. Jumlah tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu kegiatan pemerintah. “Survei Alvara Research Center menyebutkan bahwa anggota NU itu sekitar 57,3 persen dari seluruh penduduk muslim Indonesia (2016). Pada 2021, 88,4% muslim Indonesia merasa dekat dengan NU. Jadi, kita punya banyak anggota yang menyebar ke seluruh pelosok Indonesia,” tegas Gus Yahya.
Sementara itu, Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam beberapa kesempatan mengaku kesulitan untuk menjangkau masyarakat akar rumput agar mendapat layanan kesehatan. Seperti saat melakukan vaksinasi Covid-19. Hal itu karena tidak lancarnya penyelenggaraan program dari pusat hingga daerah. Sehingga dalam kasus tersebut, Menkes meminta bantuan TNI dan Polri untuk memaksimal target vaksinasi.
Namun demikian, ia mengaku tidak mungkin untuk terus melibatkan TNI dan Polri untuk urusan kesehatan seperti stunting. Karenanya, ia meminta bantuan PBNU untuk bisa menyampaikan agenda-agenda kesehatan melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) agar dirasakan dan bermanfaat untuk masyarakat lapis bawah, terutama untuk mempercepat penurunan stunting.
Ia bercerita, saat sowan ke Gus Yahya, didapat informasi bahwa terdapat banyak warga NU yang ada di Posyandu-Posyandu. Hal ini kemudian dimanfaatkan Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk melakukan revitalisasi Posyandu sebagai bagian dari upaya penanganan stunting.
“Posyandu itu dulu hanya mengurusi kesehatan bayi dan ibu. Sekarang mau kita geser fokusnya bukan hanya bayi dan ibu, tapi ibu, bayi, remaja, bapak, sampai lansia. Pendekatan Posyandu tetap ke keluarga,” tuturnya.
Misalnya, petugas Posyandu secara rutin datang ke rumah-rumah untuk mengecek kesehatan warga, termasuk melakukan cek kesehatan calon pengantin, dan sosialisasi usia ideal menjalani pernikahan agar anaknya kelak tidak stunting.
“Intinya adalah menjaga agar keluarga hidup sehat, bukan menyembuhkan anggota keluarga yang sakit. Menjaga hidup sehat itu jauh lebih murah daripada menyembuhkan orang sakit,” katanya.
Menkes Budi Gunadi Sadikin kemudian mengucapkan terima kasih atas kerja sama ini. Ia menegaskan bahwa kerja sama ini bersifat jangka panjang.
“Mudah-mudahan nanti (kerja sama) dalam hal penanganan stunting, kemudian imunisasi, dan kesehatan jiwa, nanti ngurusin diabetes, dan kanker juga. Pendekatan keluarga akan lebih strategis,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua PBNU Alissa Wahid mengatakan bahwa kerja sama ini akan lebih mengarah pada pemberdayaan masyarakat di level bawah untuk terlibat dalam percepatan penurunan stunting. Hal itu dapat dilakukan oleh PBNU mengingat banyaknya warga NU di Posyandu di berbagai desa seluruh Indonesia.
“Insya Allah, tahun 2023 kerja sama ini kita akan dimulai. Kami sudah menyiapkan struktur kerja yang terdiri dari berbagai lembaga di PBNU,” ujarnya.
Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan kekurangan gizi kronis, terserang infeksi yang berulang, maupun stimulasi psikososial yang tidak memadai. Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting Indonesia masih berada di angka 24,4 persen pada 2021. Artinya, 1 dari 4 balita di Indonesia mengalami stunting. Dengan demikian, prevalensi stunting Indonesia termasuk dalam kelompok sedang menurut standar World Health Organizations (WHO).
Di beberapa provinsi, prevalensi stunting balita masih ada yang berada di atas 30 persen. Di antaranya Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan prevalensi stunting sebesar 37,8 persen, Sulawesi Barat sebesar 33,8 persen, Aceh sebesar 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 31,4 persen, Sulawesi Tenggara sebesar 30,2 persen, dan Kalimantan Selatan sebesar 30 persen.
Prevalensi stunting balita di Indonesia terus menunjukkan tren menurun. Pada 2018, prevalensi balita stunting Indonesia sebesar 30,8 persen. Kemudian, turun menjadi 27,7 persen pada 2019 dan terus turun menjadi 24,4 persen pada 2021. Pemerintah bahkan menargetkan turun menjadi 14 persen pada tahun 2024.[]