JAKARTA (stunting.go.id)- Aksi nasional percepatan penurunan stunting akan lebih dipercepat lagi. Langkah ini diambil untuk mengejar target penurunan stunting menjadi 14% pada tahun 2024.
Setelah Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) Percepatan Penurunan Stunting yang digelar Sekretariat Wakil Presiden di Jakarta, 4-7 Oktober 2023, semua unsur Tim Percepatan Penurunan Stunting dari pusat dan daerah merumuskan perbaikan dalam lima aspek, yaitu perencanaan, koordinasi, penganggaran, penguatan data, dan komitmen kepemimpinan. Sejumlah hambatan berhasil diendus dalam Rakortek yang diikuti lebih dari seribu orang dari 14 provinsi dan 288 kabupaten/kota ini.
Rakortek adalah event tahunan yang diamanatkan oleh Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Sekretariat Wakil Presiden memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan rapat koordinasi tahunan minimal sekali dalam setahun yang dihadiri oleh pimpinan tinggi di pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Rakortek digelar untuk mengupayakan kolaborasi multipihak secara efektif.
Dinamika dalam diskusi Rakortek memunculkan beberapa masalah di lapangan yang harus segera diantisipasi. Misalnya, melemahnya kelembagaan TP2S di beberapa daerah, termasuk kurangnya sinergi personil TP2S antar level pemerintahan. Selain itu, masih banyaknya pimpinan yang masih infrastruktur minded, sehingga program percepatan penurunan stunting belum menjadi prioritas utama.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden, Suprayoga Hadi, mengatakan aksi percepatan penurunan stunting memang dinamis dari tahun ke tahun. Setiap kali Rakortek digelar selalu ada masalah baru yang mengemuka. “Namun, secara umum program percepatan penurunan stunting telah berhasil digalakkan secara masif dan mencapai hasil signifikan,” tandasnya.
Secara umum, bentuk aksi nasional percepatan penurunan stunting terbagi tiga, yaitu intervensi spesifik, intervensi sensitif, dan tata kelola. Intervensi spesifik berkaitan langsung dengan orang yang menjadi sasaran program, yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak 0-59 bulan, remaja, dan calon pengantin. Dalam empat tahun terakhir intervensi spesifik dinilai telah memadai, meskipun tetap perlu peningkatan.
Intervensi jenis kedua adalah intervensi sensitif, yaitu aksi yang terkait dengan penyebab tidak langsung atas terjadinya stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Berdasarkan hasil kajian dan diskusi yang digelar dalam Rakortek, ditemukan beberapa masalah yang berpotensi menghambat penurunan stunting terkait dengan kondisi lingkungan.
Pada saat ini masih terdapat 40,4% desa yang masih belum bebas buang air besar terbuka (Open Defication Free/ODF). Padahal pemerintah melalui Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) sebelumnya menargetkan angka desa ODF mencapai 70%. Selain itu, akses rumah tangga terhadap air minum layak masih di angka 92,96%, sedikit di bawah target 97,9%.
Dua hal ini menjadi masalah utama yang berpotensi mengganggu penanganan kesehatan secara langsung kepada balita atau intervensi spesifik. Persoalan lingkungan dapat menjadi masalah yang menghambat efektivitas aksi kesehatan yang digencarkan di Posyandu dan Puskesmas.
“Pemerintah berupaya keras memberi vitamin dan makanan tambahan bayi, tetapi bila dalam keluarga masih ada perilaku buang air sembarangan akan percuma,” kata Hasto Wardoyo Kepala BKKBN saat memberikan sambutan pada Rakortek. Perilaku BAB terbuka rawan menyebabkan infeksi dan akhirnya gizi yang diberikan kepada balita habis hanya untuk penyembuhan.
Faktor lainnya adalah belum masifnya pemeriksaan kesehatan pada calon pengantin. Kasus bayi terlahir stunted sering diawali dari ibu hamil anemia yang jumlahnya sangat banyak. Semua titik yang harus disasar telah terdata dengan baik dalam sistem yang dimiliki pemerintah, tinggal menggencarkan aksi.
Beberapa persoalan yang muncul di Rakortek akan menjadi prioritas aksi nyata yang dilakukan tahun ini dan tahun 2024. “Kami telah menyepakati aksi bersama untuk meningkatkan konvergensi melalui kerja sama multisektor,” kata Suprayoga Hadi.
Presiden Joko Widodo meminta prevalensi stunting harus turun di angka 14% pada tahun 2024, karena Indonesia akan mengejar kualitas sumber daya manusia pada bonus demografi di tahun 2035. Hal ini dituangkan dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Dalam 4 tahun terakhir tercatat angka prevalensi stunting nasional turun sebesar 9,2%, yakni dari 30,8% pada 2018 menjadi 21,6% pada 2022. Untuk mencapai target angka prevalensi stunting 14% pada 2024, maka pemerintah harus dapat menurunkan angka prevalensi sebesar 7,6% poin dalam 2 tahun ke depan. []