KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN

Food Security and Nutrition are Key to Preventing Stunting

19 October 2020 | News

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup baik dalam pencegahan gizi kurang. Di tahun 2018 angka prevalensi gizi kurang sebesar 7,9 %, naik dari angka prevalensi gizi kurang di tahun 2011 sebesar 16,5 %.

Namun demikian, angka prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi. Apalagi ditambah dengan tantangan pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan akan segera berakhir.

“Pekerjaan kita masih jauh dari selesai. Angka prevalensi stunting masih tinggi, hampir 28 % di 2019. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang semakin memperbesar tantangan ketahanan pangan, yang bisa saja membalikkan capaian sebelumnya,” kata Bambang Widianto, Staf Khusus Wapres/Sekretaris Eksekutif Ad –Interim TNP2K, Setwapres dalam sambutannya di seminar “Beyond Stunting: Challenges to Improve Food Security and Nutrition in Indonesia,” Rabu (14/10).

Kontraksi ekonomi yang disebabkan oleh pandemi telah meningkatkan angka kemiskinan tingkat nasional. BPS memperkirakan angka kemiskinan di bulan Maret 2020 sebesar 9,78 %, naik dari September 2019 sebesar 9,22%. Ini bisa diartikan ada penambahan dua juta orang miskin akibat pandemi.

“Covid-19 telah mengurangi tingkat pendapatan, menurunkan daya beli akibat kemiskinan. Kerawanan pangan juga diperkirakan meningkat dalam situasi ekonomi yang sulit seperti ini,” ujar Bambang.

Pemerintah pusat telah mengantisipasi masalah kerawanan pangan dengan memperluas program perlindungan sosial. Dari hampir 700 triliun rupiah yang dialokasikan ke penanganan dampak pandemi pada ekonomi, hampir sepertiga anggaran tersebut dialokasikan ke perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan.

Dalam upaya sepenuhnya menangani stunting, juga harus dilengkapi dengan upaya menjaga kualitas gizi. Hal ini tidak selalu berkaitan dengan program perlindungan sosial. Kualitas gizi yang buruk sering disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran pada makanan bergizi, dan pola makan yang buruk.

“Stranas Stunting memainkan peran kunci untuk kampanye perubahan perilaku terkait gizi, untuk melengkapi upaya pemerintah dalam penguatan program perlindungan sosial,” tambah Bambang.

Dalam kesempatan yang sama, Dr. Rr. Dhian Proboyekti Dipo, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, menjelaskan bahwa berdasarkan Kajian Total Diet 2014 terlihat bahwa kualitas asupan gizi masyarakat Indonesia sebagian besar berasal karbohidrat. Konsumsi karbohidrat sebesar 243 gram/peorang dalam sehari, dan 52 gram protein perorang perhari. Sayangnya sekarang ada pergeseran pola konsumsi yang lebih memilih makanan olahan.

“Dari data Riskesdas 2018, menyebutkan bahwa 95,5 % masyarakat Indonesia kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Jadi hampir 100 persen,” kata Dr. Dhian.

Dirinya menambahkan bahwa Indonesia sudah memiliki pedoman gizi seimbang yang ditargetkan untuk para profesional dan petugas dari berbagai lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang melaksanakan intervensi pendidikan gizi. Pesan-pesan dari panduan tersebut bisa langsung ditujukan kepada masyarakat umum.

Peneliti SMERU, Sirojuddin Arif menyampaikan hasil studinya bahwa selain stunting, Indonesia juga menghadapi tiga beban malnutrisi yaitu: kekurangan gizi, kelebihan gizi, dan kekurangan zat gizi mikro (mikronutrien). Oleh karena itu, Pemerintah perlu memperluas fokus kebijakannya agar tidak hanya terfokus pada stunting. Persoalan wasting (kondisi kurus), obesitas, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro juga perlu mendapatkan perhatian.

“Untuk mencegah meningkatnya prevalensi wasting dan stunting selama krisis yang ditimbulkan pandemi COVID-19, pemerintah perlu memperluas penyediaan makanan tambahan, seperti biskuit fortifikasi. Ini untuk membantu anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui dari kelompok miskin dan rentan, dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka,” ujar Sirojuddin Arif.

Tautan http://www.smeru.or.id/

BAGIKAN

Baca Juga

Link Terkait