Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan stunting menjadi sebesar 14,4% pada tahun 2029 dan mencapai 5% pada tahun 2045 sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045. Pencapaian Pemerintah sebelumnya yang berhasil menurunkan prevalensi stunting sebesar 9,3% poin dalam 5 tahun dari 30,8% tahun 2018 menjadi 21,5% pada tahun 2023 patut diapresiasi.
Pengalaman pelaksanaan pencegahan dan penurunan stunting tahun 2018 – 2024 telah memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi perbaikan pelaksanaan program kedepannya, namun demikian terdapat beberapa tantangan yang dihadapi, salah satunya adalah kebijakan efisiensi anggaran.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah tahun 2025 tercantum dalam Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 1 terkait Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025. Dalam Inpres tersebut, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan pemerintah pusat dan daerah melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun, berupa pemangkasan anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun serta pemangkasan transfer anggaran ke daerah senilai Rp50,59 Triliun. Hal tersebut sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Efisiensi anggaran dilakukan terhadap 16 pos belanja, seperti pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas, sewa kendaraan, hingga kegiatan seremonial.
Sebagai respon atas kebijakan pemerintah tersebut, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, selaku Wakil Ketua Pelaksana TPPS Bidang Advokasi Kepemimpinan menginisiasi Rapat Terbatas Pejabat Eselon 1 Anggota Pengarah dan Pelaksana TPPS Pusat untuk membahas dua agenda utama, yaitu Dampak Efisiensi Anggaran Bagi Program Percepatan Pencegahan dan Penurunan Stunting (P3S) dan Pelaksanaan Pendataan Prevalensi Stunting Tahun 2025. Rapat dilaksanakan secara daring pada 4 Maret 2025.
Rapat yang dipimpin langsung oleh Prof. Dadan Wildan, menghasilkan beberapa catatan penting antara lain : Berdasarkan informasi dari Kementerian dan lembaga, banyak kegiatan P3S di tingkat pusat yang mengalami efisiensi. Pada Kemendukbangga/ BKKBN misalnya, pemutakhiran data PK 2024 belum bisa dilakukan karena tidak ada alokasi anggaran akibat efisiensi. Untuk Kementerian Kesehatan anggaran yang terdampak efisiensi adalah untuk pembelian buku KIA dan Pelatihan untuk Tenaga Kesehatan. Kementerian yang paling banyak terkena dampak adalah PU. Untuk tahun 2025 sebelum efisiensi, anggaran total di PU sebesar Rp11,52 triliun dikurangi menjadi Rp6,39 triliun. Ini berdampak pada Program Sanimas dan Pamsimas yang semula alokasi anggarannya sebesar Rp1,07 triliun menjadi Rp386,5 miliar.
Terkait dengan efisiensi ini, beberapa Kementerian/Lembaga telah melakukan mitigasi dengan memodifikasi kegiatan sehingga diharapkan efisiensi tersebut tidak mengurangi kualitas pelaksanaan Program P3S.
Untuk efisiensi di tingkat daerah masih dalam proses, diharapkan kegiatan yang terkait dengan penanganan stunting dan berkaitan Surat Edaran (SE) Mendagri No 900/833/SJ mengenai Penyesuaian Pendapatan dan Efisiensi Belanja Daerah dalam APBD 2025. Salah satu poin penting dalam edaran tersebut adalah dalam pelaksanaan identifikasi atas efisiensi harus memperhatikan batas minimal pemenuhan alokasi anggaran belanja wajib meliputi fungsi pendidikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, standar pelayanan minimal, penurunan stunting, penghapusan kemiskinan ekstrim, pengendalian inflasi, dan penggunaan hasil penerimaan pajak daerah untuk kegiatan yang telah ditentukan.
Di tingkat Desa, efisiensi terjadi untuk alokasi Dana Desa Tambahan sebesar Rp2 triliun. Sehingga total dana Desa untuk tahun ini tidak sebesar Rp 72 triliun, tetapi 69 triliun. Dana Desa ini diharapkan dapat dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan percepatan pencegahan stunting di lapangan.
Terkait dengan pengukuran status gizi, perlu dilaksanakan diskusi dengan pakar untuk mendapatkan pertimbangan. Pengukuran prevalensi penting dilakukan guna mengukur kinerja program, mengingat data surveilens e-PPGBM belum dapat digunakan karena berbagai keterbatasan. Hasil diskusi dengan Pakar terkait pengukuran prevalensi dapat menjadi salah satu masukkan untuk dituangkan dalam Perpres yang sedang direvisi.